Fitnah dan hoax yang beredar di media sosial (medsos), menguji netizen agar tak mudah percaya. Netizen pun harus teliti sebelum menerima sebuah informasi.
Berangkat dari permasalahan ini, komunitas yang tergabung dalam Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mengembangkan tool bernama Turn Back Hoax, sebuah web berbasis crowdsourcing untuk mengecek kebenaran sebuah berita apakah fakta atau hoax.
"Situs ini untuk melaporkan berbagai informasi, mulai dari yang bentuknya portal berita, broadcast message di aplikasi chat, gambar-gambar yang diedit dan dipalsukan untuk kemudian ditelusuri kebenarannya," kata salah satu inisiator pengembangan Turn Back Hoax Khairul Anshar, dihubungi, Kamis (9/2/2017).
Semua informasi yang dilaporkan masyarakat ini nantinya akan dikumpulkan dan digunakan sebagai Basis Data berita fitnah dan hoax yang bisa diakses semua orang, dan diharapkan bisa menjadi rujukan netizen dalam memilah mana informasi yang benar.
Karena bersifat crowdsource, Turn Back Hoax sangat mengandalkan peran aktif masyarakat untuk melaporkan setiap berita fitnah dan hoax yang sedang beredar. Ada sekitar 1.800 laporan hoax yang masuk sejak Turn Back Hoax beroperasi Desember 2016. Sejauh ini, Turn Back Hoax menemui kesulitan untuk melakukan konfirmasi sebuah berita hoax atau bukan.
"Walaupun ada akun yang melaporkan, meskipun omongannya benar tapi dia anonim. Kita gak bisa percaya. Jadi jangan sampai laporan yang masuk itu udah hoax juga," ujar Khairul.
Selain itu menurutnya, untuk mengkonfirmasi sebuah berita fakta atau hoax diperlukan resource yang tak sedikit, mulai dari waktu hingga tenaga untuk penelusuran data. Apalagi situs ini dikelola oleh para relawan.
"Mereka meluangkan waktu dan gak dibayar, sambil itu mereka sehari-harinya juga bekerja. Yang klarifikasi harus dari pemerintah karena dia punya resource, termasuk resource untuk memverifikasi orang yang melaporkan hoax berdasarkan data KTP," paparnya.
Untuk itu, Khairul dan timnya mengusulkan agar Turn Back Hoax nantinya bisa dikelola oleh Pemerintah. Tujuannya, agar semua laporan yang masuk lebih mudah terverifikasi, karena si pelapor maupun yang memverifikasi jelas identitasnya.
"Loginnya pakai KTP, tapi identitas ini tidak dipublish, hanya untuk verifikasi. Kalau valid laporannya diterima dan bisa dilihat publik. Yang memverifikasi laporan juga harus bisa dipertanggungjawabkan," terangnya.
Lebih lanjut, Khairul mendorong Pemerintah agar media sosial seperti Facebook, Twitter dan lain-lain bisa membuat semua akun medsos terverifikasi sesuai identitas di KTP. Dengan demikian, identitas setiap orang di medsos jelas dan mereka lebih berhati-hati.
"Jadi ketika ada yang menyebarkan hoax atau ingin memverifikasi sebuah kebenaran beritanya di medsos, bisa dilacak identitasnya," sebutnya.
Khairul berharap, di tengah situasi yang panas, baik Pemerintah maupun publik bisa sama-sama memerangi peredaran hoax. Bagaimanapun, inisiatif publik seperti yang dilakuka Khairul dan komunitasnya memiliki keterbatasan. Dalam kondisi ini, Pemerintah harus ikut mengambil peran.
"Kami berharap langkah konkrit pemerintah. Seperti usulan agar situs ini dikelola Pemerintah, karena mereka punya resource untuk memverifikasi. Kalau memungkinkan dan masuk akal harus dijalankan. Kalau publik sendiri seperti kita Insya Allah akan terus melakukan berbagai inisiatif seperti kampanye dan lain-lain," tutupnya.
(rns/rns)
Sumber
comment 0 comments
more_vert